Sunday, June 24, 2012

Akhir Juli

Aku tak pernah menyangka semua ini benar akan terjadi padaku. Begitu cepat. Namun inilah yang pada akhirnya menyadarkanku.
Aku ingat hari itu adalah senin terakhir di bulan Juni.
" Selangkah saja kamu keluar dari pintu, jangan pernah lagi kamu injakkan kaki di rumah ini!" perkataan Bapak langsung menohok hatiku. Namun aku ambaikan semua itu. Aku tetap pergi dari gubuk itu.
" Mbok yo ra sah lunga to, nduk!" kata ibuku dengan mata berkaca-kaca.
Aku tak juga mendengar perkataan ibu. Tekadku sudah bulat. Aku mau jadi bintang film seperti idolaku meski harus meninggalkan kampung dan orang tuaku.
Sudah lama aku memimpikan jadi orang terkenal. Dan aku yakin dalam waktu dekat semua itu akan menjadi kenyataan.
Sebelumnya banyak yang bilang bahwa itu adalah hal yang mustahil. Aku hanyalah gadis desa yang tinggal di pinggiran kota Jogja.

Seminggu yang lalu desaku menjadi lokasi shooting FTV. Saat sedang asyik menonton proses shooting tersebut tiba-tiba seseorang menghampiriku.
"Hai!"
Suaranya terdengar begitu merdu di telingaku.
Awalnya kukira pasti bukanlah aku yang ia sapa. Namun tak ada orang lain di sampingku, jadi pastilah aku yang ia sapa.
"Hei"
"Hai, yah," balasku
"Asli penduduk sini?"
"Iya, mas."
"Ooohh. Dari kemarin aku liat kamu rajin banget nongkrong di lokasi."
Pipiku terasa panas. Bila dapat kulihat pasti warnanya sudah berubah kemerahan. "Iya, mas. Aku sebenarnya pengin banget kaya mereka." kutunjuk seorang gadis cantik yang sedang beracting di depan kamera.
Joy langsung melayangkan pandangannya padaku. Dari ujang rambut hingga ujung kakiku. Kemudian ia diam sejenak.
Kupikir dia akan mentertawakanku seperti teman-teman kampungku. "Kamu cantik. Dan aku rasa kamu bisa jadi seperti dia."
"Makasih, mas,"
"Panggil Joy aja!"
"Oh, oke. Tapi apa aku bisa ya, Joy?"
"Tentu aja. Kenapa ngga?"
"Yaah.. Selama ini temen-temenku selalu bilang kalo itu cuma bakal jadi impian yang ngga akan pernah dapat terwujud."
"Itu kan kalo kamu ngga ketemu aku."
Aku tidak bisa langsung mencerna perkataan Joy. "Maksudnya?"
"Gini, kamu pengen banget jadi artis kan?"
Aku mengangguk penuh semangat.
"Aku bisa bantu kok."
"Ah, serius, Joy?" tanyaku tak percaya.
"Serius lah."
"Gimana caranya?"
"Tiga hari lagi kami balik ke Jakarta, kalo kamu mau kamu bisa ikut kami. Ntar kamu akan aku ajak ikut casting buat FTV selanjutnya. Gimana?"
"Tiga hari lagi? Tapi aku belum ijin sama ortu, Joy. Lagi pula seminggu lagi aku ada tes masuk perguruan tinggi."
"Yah itu sih terserah kamu. Aku ngga bisa njamin kesempatan emas ini bakal datang lagi."
Otakku langsung berputar keras. Aku bingung harus bagaimana. Aku ingin sekali mewujudkan impianku. Namun di sisi lain, apa mungkin bapak dan ibu mengijinkanku pergi meninggalkan tes perguruan tinggi?
"Juli?"
"Ya?"
"Kok melamun?" aku hanya menggeleng kepala sekali. "Gini aja, hari senin lusa, kita tunggu kamu tepat disini. Kalau sampai jam 10 kamu tidak datang juga berarti kamu memang tidak mau memanfaatkan peluang ini."

"Apa kamu pikir bapak ini udah nda waras ya? Membiarkan anak gadis satu-satunya pergi ke kota sama orang-orang kota nda jelas itu."
"Tapi ini semua demi impianku, Pak."
"Impian opo? Impian sing ra iso njamin uripmu kuwi?"
Aku hanya diam tertunduk. Mataku kini terasa panas. Dan seketika tak mampu lagi menahan genangan air mata.
"Pokoknya aku mau pergi, Pak!" suaraku kini terdengar tinggi. Aku lari ke kamar dan membanting pintu dengar keras.
Kubenamkan kepalaku di bawah bantal. Tak kudengarkan semua omelan bapak.


Aku tau kepergianku telah menyakiti orang tuaku. Terutama Ibu.
Terdengar sayup-sayup suara lemah ibu memanggil-manggil namaku, "Juli, Juli anakku.."
Namun mataku tak bisa kubuka. Seluruh tubuhku tak dapat kukendalikan. Lemas. Ingatanku kembali ke masa sebulan lalu saat kutinggalkan kedua orang tuaku karena keegoisanku. Bagaimana bisa aku mempercayai orang yang baru aku kenal beberapa menit dan meninggalkan orang-orang yang sudah kukenal hampir 18 tahun.
Perlahan kucoba lagi membuka mataku. Kali ini samar-samar kulihat sekelilingku. Ternyata kini tubuhku terbaring di ranjang rumah sakit. Namun aku tak ingat bagaimana aku bisa sampai di tempat ini. Yang kuingat tadi malam aku masih bersenang-senang dengan Joy dan teman-teman artis lainnya di sebuah bar.
Aku masih berusaha mencerna perkataan orang-orang di sekelilingku. Pusing sebenarnya. Namun tetap kupaksakan.
"Maaf, pak, sepertinya kami sudah tidak sanggup lagi menolong anak Bapak. Sekarang kesembuhan hanya tergantung pada tangan Tuhan."
Tubuhku mengejang mendengar perkataan pria itu yang aku rasa dia adalah dokter.
Dan setelahnya aku rasakan sentuhan tangan hangat di dahiku. Ibu. Tangannya bergetar dan terdengar isak tangis yang ditahan.
"Nduk, iki ibu, sing sabar yo." napas ibu terasa berat. "Dadio bocah sing bagus! Ibu ikhas.."
Kalau dapat kulihat, pasti wajah sayu ibu sudah terbasahi air mata.
Kurasakan hawa dingin menjelajahi ujung kakiku.
Tuhan... Ijinkanlah aku melihat wajah ibu dan bapak sekali lagi. Walau hanya sesaat. Kumohon..
Sebagai kado ulang tahunku hari ini.
Dengan segala daya ku coba membuka mata lagi. Aku tersenyum. Kini aku dapat melihat bapak dan ibu di sampingku.
Ku kerahkan segala sisa tenaga yang kupunya. "Ma...a..af.." hanya itu kata yang keluar dari mulutku.
Dan sesaat kurasakan sakit begitu dasyatnya hingga tak bisa kulukiskan. Namun tak berapa lama kurasakan damai dalam jiwaku.

0 comments:

Post a Comment